heart to heart
“Saya lupa belum bilang mama, jadinya mama Yoona yang kasih tau.” Ucap Seungcheol yang merebahkan tubuhnya di samping Jeonghan. Tangannya dia sampirkan di perut Jeonghan dan wajahnya ia sembunyikan di tengkuk leher Jeonghan.
“Terus udah dikasih tau kalo gue disini? Mama mau kesini?”
“Udah, iya mama tadinya mau kesini tapi saya bilang ga usah.”
“Loh kenapa?”
“Kan ada kamu, lagian juga udah mendingan.”
Jeonghan membalikkan tubuhnya menghadap Seungcheol. Lalu ia mengelus-elus wajah Seungcheol yang masih ada luka lebamnya.
“Sakit ya?”
Seungcheol mengangguk. “Tapi gak sesakit hati kamu kan? Lagian saya pantes dapet ini dari sahabat kamu. Saya juga akan ngelakuin hal yang sama kalo sahabat saya disakitin.”
Jeonghan masih sibuk mengelus-elus wajah itu. Sementara Seungcheol juga masih sibuk memandangi wajah Jeonghan yang menurutnya menjadi lebih cantik setelah 2 Minggu tidak bertemu.
“Selama di rumah papa kamu perawatan ya?”
Jeonghan menggeleng. “Kenapa?”
“Ntah perasaan saya aja atau engga, kamu tambah cantik.”
Wajah Jeonghan bersemu merah seketika. Seungcheol tersenyum ketika melihatnya.
“Jeonghan?”
“Ya?”
“Maaf ya.”
Jeonghan mengangguk. “Udah di maafin.”
“Tinggal disini lagi ya? Kita mulai semuanya dari nol. Mau tidak?”
“Belum tau, mas.” Jawab Jeonghan kecil.
“Mungkin kamu bosan sama janji saya, tapi saya pastikan kejadian kemarin tidak akan pernah terulang lagi. Saya juga bersumpah tidak pernah melakukan apa yang ada dipikiran kamu.”
Jeonghan terdiam.
“Mau dengar penjelasan saya tidak?”
“Penjelasan yang mana?”
“Penjelasan yang kamu liat dari foto itu.”
“Yang lo lembur terus?”
“Kalau yang itu saya belum bisa cerita, tapi nanti saya cerita.”
“Yaudah jelasin.”
Seungcheol menyusupkan tangannya untuk menjadi bantalan Jeonghan. Wajah Jeonghan tepat berada di depan dada Seungcheol.
“Saya emang belum jelasin siapa itu Clara. Dan kamu sudah lebih dulu tau, dan kamu benar. Clara sahabat saya dan cinta pertama saya. Saya dan Clara tidak bisa bersama karena dulu Clara sempat menolak saya. Walaupun saya sudah berusaha bikin dia menjadi milik saya, tetap tidak bisa. Sampai dia akhirnya pergi ke Paris meninggalkan saya. Tapi sejak saat itu, saya berusaha menghilangkan semua perasaan saya ke dia. Hampir 5 tahun dia pergi Jeonghan, dan selama itu juga saya tidak pernah merasakan apa-apa pada siapapun. Bukan saya tidak bisa move on, tapi saya memang tidak mau bertemu orang yang salah lagi.”
Jeonghan mendengarkan cerita Seungcheol, sambil tangannya ia letakkan di atas dada Seungcheol—ia bisa merasakan detak jantung Seungcheol yang berdetak kencang.
“Pada saat kita pertama kali melakukan hubungan intim, Clara menghubungi saya, dia bilang dia rindu dengan saya tapi tidak pernah saya balas Jeonghan, saya bersumpah. Sampai akhirnya dia dapat nomor saya dari mama, karena mama juga tidak tau cerita saya dengan Clara seperti apa, yang mama tau kami hanya bersahabat. Dan pada saat itu juga, Clara mengajak saya bertemu awalnya di apartemen dia, tapi saya gak mau karena saya sudah menikah, tidak baik juga bertemu di tempat tertutup seperti itu. Saya mengajak bertemu di cafe dekat apartemennya dan dia mengiyakan. Tapi yang harus tau Jeonghan, di sana saya meminta agar dia tidak mendekati saya lagi karena saya sudah menikah, tapi dia tidak mau tapi saya tidak perduli. Setelah itu saya tinggal dia di sana.”
“Gak Lo anter balik?”
“Tidak, saya ada keperluan mendesak waktu itu. Lagipula itu sudah bukan kewajiban saya. Dia yang memilih untuk tidak berteman lagi dengan saya diwaktu dia menolak saya. Artinya, kami orang asing.”
“Terus kenapa foto itu ada?”
“Saya juga gak tau siapa yang mengirimnya. Tapi itu diambil tanpa sepengetahuan saya. Saya bertemu teman-teman saya waktu itu, kami bermain basket bersama tapi tiba-tiba saja Clara datang.”
“Lo sering ajak dia ke sana kali, makannya dia tau lo di sana.”
Seungcheol menggeleng. “Yang lucunya, lapangan basket yang saya dan teman-teman saya pakai waktu itu tidak ada yang tau kecuali mama, papa, Mingyu dan Minghao. Saya memang tidak memberitahu siapapun, tapi saya berniat mengajak kamu lain waktu.”
“Terus dia tau darimana?”
“Saya tidak tau.”
“Mas Seungcheol, gue ga suka...”
“Gak suka apa?”
”...Gak suka tau lo dari orang lain. Makannya kemarin gue marah banget, apalagi kalo di inget-inget semuanya terlalu kebetulan, kebetulan lo suka lembur, kebetulan juga ada yang kirim foto itu. Gue kalut. Gue mikir kalo semua orang gak suka gue bahagia. Dulu gue suka dipukul sama mantan gue, semua yang gue lakukan salah di mata dia, bahkan ketika beberapa kali dia selingkuh tetep gue yang salah. Terus gue nikah sama lo, gue ga tau apa yang lo lakuin di luar sana gue berusaha tidak berpikir negatif, tapi semua yang lo lakuin bikin gue keinget dengan apa yang dulu mantan gue lakuin, lo yang tiba-tiba ilang, tiba-tiba gak ada kabar lalu tiba-tiba dengan wanita lain. Gue—gue...” Ucapan Jeonghan terputus ketika mendadak ia menangis. Dengan sigap Seungcheol memeluknya, menenangkannya dengan sebuah kecupan di pucuk kepalanya.
“Jeonghan, maaf.”
Dengan terisak-isak Jeonghan memeluk erat Seungcheol. Berkali-kali ia ucapakan dalam hatinya. Tolong, jangan tinggalin gue.
Keduanya masih sama-sama diam, bahkan Jeonghan masih belum bisa menghentikan tangisannya.
“Jeonghan, Jeonghan, Jeonghan sayang—.” Yang Seungcheol rapalkan untuk menenangkan suaminya itu. Tapi untuk Seungcheol, itu bukan hanya untuk menenangkan suaminya tapi itu adalah suara hatinya yang beberapa Minggu ini hanya bisa ia ucapakan di dalam hatinya.
“Mas Seungcheol, jangan tinggalin gue. Gue—gue gak bisa kalo gak sama lo. Lo boleh ga cinta sama gue, tapi gue mohon jangan tinggalin gue. Jangan pergi sama siapa-siapa.”
Seungcheol makin mengeratkan pelukannya. Beberapa kali ia mengecup pucuk kepala Jeonghan. Berjanji pada dirinya sendiri ia tidak akan pernah melepaskan Jeonghan. Tidak akan pernah membiarkan Jeonghan-nya pergi.
Jeonghan-nya.
Jeonghan akan selalu menjadi miliknya. Dan itu mutlak.