thatausaha

Seokmin masuk ke kamar yang ia dan Jisoo tempati di villa. Dengan senampan nasi goreng seafood plus jus melon keinginan Jisoo.

“Sayang?”

Jisoo mendongakkan kepalanya melihat Seokmin agak kerepotan membawa nampan itu.

“Aww.” Jisoo memekik kecil ketika mencoba bangun untuk membantu Seokmin

“Sudah, jangan dipaksa. Mas bisa kok. Masih sakit ya?”

“Nyeri sedikit sih mas.”

Seokmin duduk di sebelah Jisoo, ia menyendokan nasi goreng berniat menyuapi Jisoo.

“Aku bisa sendiri tau mas, yang sakit bawahnya bukan tangan aku.”

“Hari ini kan kamu ulang tahun, kamu harus jadi raja hari ini. Eh gak cuma hari ini deh, tiap hari kamu harus jadi raja.”

Jisoo memukul lengan Seokmin pelan, lalu ia menerima suapan Seokmin.

“Kamu udah makan mas?”

“Mas, kembar, dan semuanya sudah makan tinggal kamu doang.”

Jisoo mengangguk, lalu ia kembali menerima suapan dari Seokmin.

“Minum?”

Jisoo mengangguk, Seokmin dengan sigap mengambil gelas yang berisi jus melon itu lalu memberikannya pada Jisoo.

“Ah enak banget.” Ucap Jisoo ketika ia meminum jus melonnya.

Seokmin tersenyum lalu kembali menyuapi Jisoo. Dan sampai pada suapan terakhir.

“Papa pinter.” Ucap Seokmin sambil mengecup kening Jisoo.

Lalu ia menaruh piring bekas makanan Jisoo, setelahnya ia menuju tas besar yang kemarin ia bawa. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam sana.

“Buat kamu.” Seokmin memberikan Jisoo sebuah kunci, yang Jisoo juga tidak tau kunci apa itu.

“Kunci? Kunci apa mas?”

“Sayang, kamu inget gak dulu pernah bilang sama mas kalo kamu pengen banget punya bisnis restoran atau toko kue?”

Jisoo mengangguk.

“Ini. Ini yang kamu inginkan, kado dari mas.”

Jisoo terkejut, lalu ia menitikkan air mata.

“Mas serius?”

“Serius sayang.” Jisoo memeluk tubuh Seokmin, ia menangis dalam dekapan suaminya.

“Mas, makasih banget. Soo sayang banget sama mas.”

“Sama-sama sayang, makasih juga udah bertahan sama mas ya? Mas juga sayang banget sama Soo.”

“Ri sama An pasti seneng banget mas pas tau aku udah punya ini.”

“Mas seneng kalo sayang-sayangnya mas seneng.”

“Mas mau hadiah apa dari Soo? Mau kayak semalem?”

Seokmin menggeleng. “Semalem udah cukup. Mas mau hadiah Soo ikut main sama Ri sama An.”

“Cium dulu tapi.”

Lalu bibir keduanya sudah saling bertaut, dengan suara kecapan dari keduanya dan sedikit suara desahan Jisoo ketika Seokmin menghisap lidahnya.

Seokmin menghentikan ciuman mereka, ia menghapus saliva yang ada disekitar bibir Jisoo.

“Selamat ulang tahun sayang, terima kasih sudah hadir di hidupnya mas. Terima kasih sudah melahirkan anak-anak kembar yang cantik. Terima kasih untuk segala-galanya. Mas sayang sekali dengan Jisoo, tetap sama mas sampe kita tua ya, sayang.”

Jisoo menyeka air matanya. “Soo akan selalu ada di samping mas, sampe kita tua nanti.”

“Sayang?”

Hao menoleh dan mendapati Mingyu di depan sana, ia berlari kecil menuju kekasihnya dan langsung memeluknya.

“Gu.”

“Gak dingin disini?”

“Dingin banget, kamu kenapa lama banget sih? Kemana aja? Godain cewek-cewek itu pasti ya?”

Mingyu tersenyum, ia mengeratkan pelukannya. “Aku beli cincin, sayang.”

“Buat apa?” Tanya Hao saat pelukan mereka terlepas

“Buat ngelamar kamu lah.”

“Kenapa repot-repot sih gu?”

“Aku gak repot sama sekali sayang, cuma cincin aja.”

Mingyu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, ia membuka kotak beludru yang tadi ia beli.

“Hao, aku mungkin gak bisa romantis kayak yang lain tapi aku berusaha untuk bersikap manis ke kamu. Mungkin juga aku gak bisa kasih kamu dunia dan isinya tapi aku berusaha untuk jadi dunia kamu.”

“Hao, kamu mau gak nikah sama aku? Jadi guling aku? Jadi alarm aku? Jadi orang yang nyiapin keperluan aku?”

“Kamu mau jadiin aku suami atau pembantu sih?”

“Yaelah yank, aku dah serius ini. Kenapa kamu ngambil poinnya begitu.”

Hao tertawa, lalu ia mengelus lembut pipi Mingyu. “Aku mau gu. Mau nikah sama kamu, mau jadi guling kamu, mau jadi alarm kamu, mau jadi orang yang nyiapin keperluan kamu.”

Mingyu memeluk Hao dengan erat. “Makasih sayang. Aku bilang makasih walaupun aku tau kamu gak bakal nolak.”

“Nyebelin.”

Mingyu tertawa. “Aku pakein ya?”

Hao menyerahkan jemarinya pada Mingyu.

“Love you, gu.”

“Love you too, sayangnya gu.”

Lalu dibawah terangnya cahaya rembulan, bibir keduanya saling bertaut.

“Sayang?”

Hao menoleh dan mendapati Mingyu di depan sana, ia berlari kecil menuju kekasihnya dan langsung memeluknya.

“Gu.”

“Gak dingin disini?”

“Dingin banget, kamu kenapa lama banget sih? Kemana aja? Godain cewek-cewek itu pasti ya?”

Mingyu tersenyum, ia mengeratkan pelukannya. “Aku beli cincin, sayang.”

“Buat apa?” Tanya Hao saat pelukan mereka terlepas

“Buat ngelamar kamu lah.”

“Kenapa repot-repot sih gu?”

“Aku gak repot sama sekali sayang, cuma cincin aja.”

Mingyu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, ia membuka kotak beludru yang tadi ia beli.

“Hao, aku mungkin gak bisa romantis kayak yang lain tapi aku berusaha untuk bersikap manis ke kamu. Mungkin juga aku gak bisa kasih kamu dunia dan isinya tapi aku berusaha untuk jadi dunia kamu.”

“Hao, kamu mau gak nikah sama aku? Jadi guling aku? Jadi alarm aku? Jadi orang yang nyiapin keperluan aku?”

“Kamu mau jadiin aku suami atau pembantu sih?”

“Yaelah yank, aku dah serius ini. Kenapa kamu ngambil poinnya begitu.”

Hao tertawa, lalu ia mengelus lembut pipi Mingyu. “Aku mau gu. Mau nikah sama kamu, mau jadi guling kamu, mau jadi alarm kamu, mau jadi orang yang nyiapin keperluan kamu.”

Mingyu memeluk Hao dengan erat. “Makasih sayang. Aku bilang makasih walaupun aku tau kamu gak bakal nolak.”

“Nyebelin.”

Mingyu tertawa. “Aku pakein ya?”

Hao menyerahkan jemarinya pada Mingyu.

“Love you, gu.”

“Love you too, sayangnya gu.”

Lalu dibawah terangnya cahaya rembulan, bibir keduanya saling bertaut.

“Sayang?”

Hao menoleh dan mendapati Mingyu di depan sana, ia berlari kecil menuju kekasihnya dan langsung memeluknya.

“Gu.”

“Gak dingin disini?”

“Dingin banget, kamu kenapa lama banget sih? Kemana aja? Godain cewek-cewek itu pasti ya?”

Mingyu tersenyum, ia mengeratkan pelukannya. “Aku beli cincin, sayang.”

“Buat apa?” Tanya Hao saat pelukan mereka terlepas

“Buat ngelamar kamu lah.”

“Kenapa repot-repot sih gu?”

“Aku gak repot sama sekali sayang, cuma cincin aja.”

Mingyu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, ia membuka kotak beludru yang tadi ia beli.

“Hao, aku mungkin gak bisa romantis kayak yang lain tapi aku berusaha untuk bersikap manis ke kamu. Mungkin juga aku gak bisa kasih kamu dunia dan isinya tapi aku berusaha untuk jadi dunia kamu.”

“Hao, kamu mau gak nikah sama aku? Jadi guling aku? Jadi alarm aku? Jadi orang yang nyiapin keperluan aku?”

“Kamu mau jadiin aku suami atau pembantu sih?”

“Yaelah yank, aku dah serius ini. Kenapa kamu ngambil poinnya begitu.”

Hao tertawa, lalu ia mengelus lembut pipi Mingyu. “Aku mau gu. Mau nikah sama kamu, mau jadi guling kamu, mau jadi alarm kamu, mau jadi orang yang nyiapin keperluan kamu.”

Mingyu memeluk Hao dengan erat. “Makasih sayang. Aku bilang makasih walaupun aku tau kamu gak bakal nolak.”

“Nyebelin.”

Mingyu tertawa. “Aku pakein ya?”

Hao menyerahkan jemarinya pada Mingyu.

“Love you, gu.”

“Love you too, sayangnya gu.”

Lalu dibawah terangnya cahaya rembulan, bibir keduanya saling bertaut.

Tok tok tok tok

Cklekkkk

“Cari siapa ya om?”

Jantung Seungcheol berdesir ketika mendengar suara itu, ia melihat seorang laki-laki mungil di hadapannya.

“Om?”

Sosok itu melambaikan tangannya di depan wajah Seungcheol.

“Oh, saya mau ketemu Mingyu.”

“Oh, temennya om Gyu. Tapi om Gyu nya lagi pergi.”

“I-iya tadi udah bilang, bentar lagi dia pulang.”

“Oh yaudah om masuk dulu aja.”

Sosok itu mempersilahkan Seungcheol masuk, lalu Seungcheol masuk dan duduk di sofa ruang tengah.

“Han tinggal bikin minum dulu ya om.”

Han. Namanya Han?

Seungcheol POV

Gue memasuki kamar Jeonghan yang berada di rumah orang tuanya, setelah berbicara pada papa dan mama akhirnya mereka memutuskan untuk memperbolehkan gue untuk bertemu anak semata wayangnya. Jujur, gue malu karena udah 2x gue buat Jeonghan nangis karena gue.

Gue melihat Jeonghan yang tertidur dengan anak kecil disebelahnya. Gue tersenyum haru ketika melihat pemandangan itu. Lalu tiba-tiba saja Areum terbangun dari tidurnya tapi itu tidak membuat Jeonghan ikut terbangun. Mungkin Jeonghan lelah, karena beberapa hari ini ia mengurus Areum seorang diri. Karena gue terlalu fokus pada orang lain.

Gue mengambil Areum dan membawanya ke gendongan gue.

“Sayangnya ayah kenapa bangun, hm? Tau ya ayah pulang?” Gue berbicara pada bayi yang belum bisa mengerti ini dengan suara pelan.

Lalu gue menggerakkan pelan badan gue ke kanan dan kiri agar bayi gue tertidur.

“Mas?”

Gue menoleh dan mendapati Jeonghan yang menatap gue dengan mata sayu.

“Tidur lagi aja yang, Areum biar mas aja yang boboin.”

Tapi Jeonghan tidak menurut, ia berjalan ke arah gue dan mencoba mengambil Areum dari gue.

“Siniin Areum nya mas. Biar Han aja.”

Jeonghan tidak memandang wajah gue.

“Han?”

Dia masih bersikeras untuk mengambil Areum dari gue.

“Jeonghan.”

“Kasih Areum ke gue, Cheol.”

Gue menatap Jeonghan tidak percaya.

“Kasih ke gue Seungcheol.”

Bukannya menyerahkan Areum, gue malah membawa Areum keluar dari kamar, gue juga merasakan Jeonghan mengikuti gue dari belakang.

“Seungcheol, lo mau bawa anak gue kemana?”

Gue tidak menjawab, gue berdiri tepat di depan kamar mama papa.

tok tok tok tok

Mama papa keluar dari kamarnya.

“Kenapa Cheol?”

“Cheol boleh nitip Areum bentar ma pa?”

“Cheol, apaansi lo. Siniin kalo emang lo gak mau ngurusin Areum.”

Gue benar-benar tidak mengindahkan omongan Jeonghan. Tapi gue memberikan isyarat pada mama dan papa

“Yaudah sini, biar Areum sama mama papa dulu.”

Gue memberikan Areum pada mama papa, setelah mereka masuk kembali ke kamar, gue menarik tangan Jeonghan.

“Seungcheol lepas.”

Dia menghempaskan tangannya.

“Kalo lo gak mau urus Areum ya udah gak usah. Gue bisa.”

“Mau lo-gue lagi?”

Jeonghan terdiam. Gue menarik lagi tangan Jeonghan dan menjatuhkannya di atas ranjang.

“Lo tuh kenapa sih? Gue bisa teriak ya kalo lo kdrt sama gue.”

Lagi-lagi gue gak menjawab. Dan gue bisa melihat mata Jeonghan yang terkejut ketika dia melihat gue melakukan sesuatu.

“Cheol, lo mau ngapain.”

Gue memampangkan kejantanan gue di depan wajahnya.

“Kelinci, singa mau di sepong dong.”

. . . . . . . . .

Author POV

“Diem ah.” Jeonghan menyikut dada Seungcheol. Saat ini Seungcheol tengah memeluk Jeonghan dari belakang.

“Wangi sih.” Seungcheol mengecupi tengkuk leher Jeonghan.

Seungcheol mengeratkan pelukannya, Jeonghan tampak hanya diam. Mereka baru saja selesai melakukan sesi kegiatan 'olahraga malam'.

“Han?”

“Hm?”

“Sakit gak?”

“Engga.”

“Hatinya?”

Jeonghan terdiam lalu ia mengangguk.

“Maafin mas ya, mas cuma bisa nyakitin Han doang, bikin Han nangis. Mas sebenernya malu kesini, malu ketemu mama sama papa tapi apa boleh buat kalo masalah ini mas harus pasang muka tembok biar bisa maafan sama Han.”

“Han cuma takut mas.”

“Iya mas paham. Masalah kita gak jauh-jauh dari mas yang bikin Han sedih. Maafin mas ya sayang.”

Jeonghan membalikkan tubuhnya dan memeluk tubuh telanjang Seungcheol.

“Mas, Han masih rumah mas kan?”

“Masih sayang, masih. Kamu sama Areum bukan cuma rumah buat mas, tapi kalian dunianya mas. Kalo kalian gak ada, dunia mas runtuh. Kapanpun akan selalu kamu dan Areum, Han.”

“Jangan capek sama mas ya, Han.”

Jeonghan mengangguk. “Jujur, kemarin Han sempet mau nyerah sama mas. Tapi Areum seakan ngasih tau kalo mas gak akan macem-macem diluar sana sama siapapun. Jadi Han tetep disini sama mas.”

Seungcheol mengecup bibir Jeonghan. “Makasih sayang, makasih buat semuanya. Maaf kalo mas bikin sedih Han terus.”

“Enggapapa mas, Han ngerti mas ganteng banget jadi banyak cewek yang nempel. Tapi mas malah sukanya sama Han.”

“Han kan lebih indah dari wanita manapun.”

“Dari bunda sama mama?”

“Bunda, mama, baru Han.”

“Areum?”

“Aduh lupa udah punya lontong satu. Bunda, mama, Areum, Han.”

“Gak ada yang lain?”

“Gak ada dong.”

“Hehehehe, oh ya mas Han mau tanya deh.”

“Tanya apa?”

“Nara kemana sih mas? Kok udah gak pernah muncul lagi? Yang abis ada kejadian waktu itukan? Udah lama banget ya?”

Seungcheol terdiam sejenak. “Han?”

“Hm?”

“Lagi yuk?”

Seungcheol POV

Clara dulunya adalah tetangga samping rumah gue sampai pada akhirnya dia dan keluarga pergi ke London karena papanya yang pindah tugas ke sana.

Clara juga adalah cinta pertama gue, orang pertama yang ngenalin ke gue tentang Crazy little things called love ya pokonya dia adalah orang pertama buat gue.

Dan sekarang dia ada disini, disebelah gue.

“Kamu gapapa nemenin aku disini?”

“Enggapapa kak.”

“Cheol, kamu masih sayang sama aku gak?”

Gue terdiam ketika dia bertanya seperti itu. Gue bahkan tidak bisa menyebutkan jawabannya. Seharusnya gue menyebutkan kalau gue sudah menikah dan punya 1 orang anak lalu pergi. Tapi ini tidak, gue tidak menjawab apapun ke dia.

Gue kenapa?

“Cheol?” Gue terkejut ketika dia memanggil nama gue.

“Aku gak tau kak.”

“Kenapa?”

Aku udah nikah kak

Lidah gue kelu.

“Cheol, kamu kenapa sih? Bengong aja daritadi.”

Jeonghan satu nama yang terlintas di benak gue

“Cheol ih.”

“Iya kak, maaf ya. Lagi banyak kerjaan di kantor.”

Lalu kita berdua sama-sama terdiam, tapi tiba-tiba aja Clara mengecup pipi gue. Gue jelas kaget, gue ga mengharapkan apa-apa dari pertemuan kali ini.

“Cheol, aku sayang sama kamu.”

Deg!

Perasaan tidak enak menyerang hati gue. Harusnya gue seneng kan kalau akhirnya Clara sayang sama gue?

Tapi ini engga, gue gak suka dia bilang itu sama gue. Gue gak suka situasi ini.

Gue tidak membalas ucapannya, gue langsung membuka handphone gue dan mengetikkan pesan pada Jeonghan, tapi nihil handphonenya tidak aktif. Gue mencoba nelponnya dan sama saja, handphonenya tidak aktif.

“Kak, maaf aku harus pulang.”

“Cheol, tapi aku sendirian.”

“Kamu bisa kak sendirian kak. Aku harus pulang.”

“Siapa sih yang nyuruh kamu pulang? Bunda? Biar aku telpon bunda ya biar kamu boleh disini.”

Gue menggeleng. Perasaan gue makin gak enak. Gue takut sesuatu terjadi sama Jeonghan dan anak gue.

“Bukan bunda yang nyuruh aku pulang.”

“Terus?”

“Jeonghan.”

“Jeonghan sahabat kamu itu? Apa haknya dia nyuruh kamu pulang?”

“Jelas dia punya hak.”

“Kenapa?”

“Dia suami aku.”

Gue bisa melihat Clara terdiam.

“Kamu bohong kan Cheol?”

Gue menggeleng. “Engga, aku juga udah punya anak kak.”

“Cheol.”

“Aku harus pulang kak.”

“Aku mohon Cheol. Jangan tinggalin aku.”

Gue memegang tangannya yang ada ditangan gue.

“Aku juga dulu pernah minta gini sama kamu, tapi apa? Kamu tetep pergi kan?”

“Cheol.”

“Maaf kak, tapi sekarang cuma ada Jeonghan di hati aku. Selamanya cuma dia.”

Setelah itu gue pergi, meninggalkan Clara yang memanggil-manggil nama gue dengan tangisnya.

“Jeonghan, maafin mas. Areum maafin ayah juga ya sayang.”

Seungcheol sampai di rumahnya dengan tangan penuh plastik bawaan.

“Mas pulang.” Teriaknya, lalu ia berjalan menuju kamarnya dan mendapati Jeonghan sedang menggendong anak mereka.

“Kok udah pulang mas?” Tanya Jeonghan

Seungcheol berjalan ke arah Jeonghan dan langsung mengecup kening suaminya itu.

“Mau buru-buru pulang. Kangen sama yang di rumah.”

Jeonghan berdecak, lalu pandangannya tertuju pada tangan Seungcheol.

“Banyak banget?”

“Susu sama cemilan buat Han, kalo laper terus belum ada mama/bunda yang dateng jadi Han bisa ganjel pake cemilan dulu.”

“Uh romantis banget suami aku.”

Aku. Katanya jantung Seungcheol berdegup kencang ketika mendengar ucapan Jeonghan.

“Mas mau mandi dulu? Han siapin bajunya ya.”

“Eh, udah kamu disitu aja sama lontong, mas bisa sendiri. Kamu belum boleh capek.”

“Nyiapin bajunya mas mah gak bikin Han capek.”

“Udah sayang, nurut aja ya?”

Jeonghan mengerucutkan bibirnya. “Yaudah.”

“Jangan ngambek dong pah, masa udah punya anak masih ngambekan.” Ucap Seungcheol sambil mengecup kening Jeonghan

“Han kan cuma mau ngelayanin mas aja.”

“Iya mas ngerti, cuma Han kan baru abis lahiran belum bisa mondar-mandir.”

“Han, gak berguna banget ya mas.” Ucap Jeonghan dengan menundukkan kepalanya

“Kok ngomong gitu?” Seungcheol memeluk suaminya itu, ia juga mengelus kepala anaknya.

“Ya ini buktinya, Han gak bisa ngurusin mas.”

“Han, mas gak pernah mikir kayak gitu. Yang tadi mas bilang Han kan baru lahiran, bekas jaitannya juga belum kering nanti malah kenapa-kenapa kalo mondar-mandir. Mas juga gak seneng ah Han ngomong gitu, Han dan Areum itu harta mas paling berharga. Jadi jangan pernah mikir kalo Han gak berguna buat mas ya?”

“Han sayang banget sama mas.”

“Mas apalagi, sayang banget sama papa dan lontong.”

Jeonghan melepaskan pelukannya dan menatap Seungcheol jengkel.

“Tadi udah bener-bener manggil Areum eh sekarang lontong lagi.”

Seungcheol tertawa. “Mas mandi dulu, atau Han yang mau mandiin mas?”

“Aduh Han belum boleh mondar-mandir nih.”

“Dasar lo Choi Jeonghan.”

. . . . . . . . .

Mingyu dan Hao baru saja selesai dengan urusan seks mereka.

“Eunghhhh gu.” Hao melenguh ketika Mingyu meraup tonjolan kecil di dadanya.

“Gu, nanti bangun lagi ih.” Hao menjauhkan kepala Mingyu dari dadanya

“Ntar aku tidur lagi, yang.”

“Ngewe lagi dong. Capek tau, emang kamu gak capek? Udah 3 ronde gu.”

“Bikin nagih sih.”

Mingyu menjauhkan kepalanya dari dada kekasihnya. Mingyu dan Hao memutuskan untuk menjalin hubungan, karena keduanya juga sama-sama saling tertarik.

Mingyu menarik Hao untuk masuk ke pelukannya.

“Nikah besok aja yuk yang?”

“Ngaco.”

“Aku pengen ngewe gak pake pengaman.”

“Sama aja perasaan.”

“Bedalah.”

“Bedanya?”

“Kalo gak pake pengaman kan kamu bisa langsung hamil.”

Hao memukul dada kekasihnya.

“Emang dasarnya kamu pengen ngehamilin aku.”

“Biar kamu gak kemana-mana.”

“Lah emang aku mau kemana?”

“Hao, kamu tuh gak sadar ya kalo di kantor banyak yang naksir sama kamu?”

“Ya terus?”

“Ya takutlah kamu di ambil.”

“Mana ada yang bisa ngambil kalo pawangnya aja begini?”

“Begini gimana?”

“Galak.”

“Emangnya aku galak ya yang?”

“Kamu ngeliatin orang yang senyum sama aku aja sinis banget.”

“Lagian mereka ganjen.”

“Nah yaudah, gak bakal ada yang ngambil aku. Kamu tenang aja. Udah ah tidur ayo, besok masih kerja.”

“Good night sayang, love you.”

“Love you too gu.”

. . . . . . . . .

“Hmmmm Han.” Seungcheol menggumam ketika Jeonghan memasukkan kejantanannya ke dalam mulut kecil miliknya.

Seungcheol meremas rambut Jeonghan menyalurkan afeksinya, disampingnya ada anaknya yang sedang tertidur pulas. Satu tangan Seungcheol ia gunakan untuk mengelus-elus anaknya dan sebelahnya lagi untuk meremas rambut Jeonghan.

“Enak mas?”

“Kapan mulut kamu gak enak, hm?”

Jeonghan tersenyum, ia mengocok kejantanan Seungcheol.

“Sekarang pake mulut dulu ya mas.”

“Iya sayang. Boleh dikulum lagi gak?”

Jeonghan mengangguk. “Passwordnya?”

“Kelinci, sepong singa lagi dong.”

Seungcheol sudah memarkirkan mobilnya di depan rumah Jeonghan, ia berlari masuk ke dalam. Jeonghan sedang sendiri di rumah, karena kedua orang tuanya sedang ada perjalanan bisnis ke luar negeri.

Seungcheol langsung menerobos masuk ke kamar Jeonghan, ia melihat Jeonghan yang sedang duduk dengan wajah ia sembunyikan di kedua lututnya. Seungcheol bisa melihat kedua bahu Jeonghan yang bergetar—Jeonghan nya menangis.

Seungcheol berjalan mendekat ke arah Jeonghan.

“Han.”

Jeonghan terkejut. “Ngapain lo disini Cheol? Gue bilang kan jangan ke sini lagi.”

“Han, gimana bisa gue diem aja kalo lo lagi sedih begini. Cerita sama gue, siapa yang bikin lo sedih?”

“Lo.”

“Han?”

“Lo ngapain sih Cheol? Nanti Citra cemburu kalo lo kesini. Udah sana pergi aja.”

“Han, gue ga bisa ninggalin lo sendirian.”

Jeonghan bangkit dari duduknya, ia berjalan ke arah Seungcheol. Lalu ia mendorong tubuh Seungcheol agar keluar dari kamarnya.

“Pergi gue bilang.”

Tapi tenaga Jeonghan tidak sekuat Seungcheol. Seungcheol membalikkan tubuh Jeonghan agar membelakanginya, Jeonghan berdiri tepat di depan cermin di kamarnya. Lalu Seungcheol membuka celana yang ia dan Jeonghan kenakan. Jeonghan terkejut, ia memberontak ketika melihat Seungcheol mulai mengarahkan kejantanannya ke lubangnya.

“Seungcheol bangsat anjing.” Hanya umpatan yang Jeonghan keluarkan tapi beberapa menit kemudian desahan demi desahan yang Jeonghan keluarkan.

“Ah ah ah ah ah.” Jeonghan terlonjak-lonjak.

“Liat Han, liat lo cantik banget kalo lagi gue ewe.” Jeonghan membuka matanya dan melihat dirinya dan Seungcheol yang sedang menyatu. Jeonghan melingkarkan satu tangannya di leher Seungcheol.

Seungcheol makin mengencangkan gerakannya ketika ia rasa Jeonghan sudah mulai mengikuti ritme gerakan pinggulnya.

. . . . . . . . .

Keduanya sama-sama diam, tapi dengan kejantanan Seungcheol yang masih tertanam di lubang Jeonghan.

“Masih pusing?” Jeonghan menggeleng. Obat pusing Seungcheol dan Jeonghan ya ngewe

“Mau makan apa?” Tanya Seungcheol lagi.

Jeonghan kembali menggeleng.

“Terus mau makan apa?”

“Seungcheol, lo beneran pacaran sama Citra?”

“Han, jangan bahas yang lain dulu ya. Gue mau sama lo dulu.”

“Terus kalo lo gak mau sama gue lagi, Lo bisa buang gue?”.

Seungcheol tidak mengerti apa yang Jeonghan ucapkan.

“Jawab Cheol.”

“Apa yang harus gue jawab? Lo juga bakal ngelakuin hal yang sama kan?”

“Apa maksud lo?”

“Lo juga bakal sama orang yang lo suka, dan abis itu lo buang gue. Gitu kan?”

“Lo Seungcheol lo. Lo orang yang gue suka.”

Seungcheol terkejut.

“Emang lo pikir gue cowok apaan yang mau di ajak ngewe? Gue ngasih badan gue karena lo orang yang gue suka. Gue selalu deket-deket sama lo karena ya gue suka sama lo. Gue muak banget selalu nyebut kita itu teman. Pertemanan kita gak sehat Seungcheol.”

Jeonghan menangis. Setelah Jeonghan diam, Seungcheol mengambil handphonenya lalu ia menelpon seseorang. Jeonghan merasa aneh karena Seungcheol tidak menjawab.

“Halo, Citra?”

Citra

“Gue mau putus.”

Pip

Seungcheol kembali menaruh handphonenya.

“Cheol?”

Seungcheol memeluk Jeonghan, sehingga kejantanan Seungcheol yang masih di dalam lubang Jeonghan kembali tertanam lebih dalam.

“I love you.”

Darah Jeonghan berdesir ketika mendengar ucapan Seungcheol.

“Cheol?”

“I love you, Jeonghan.”

Jeonghan merasakan tengkuk lehernya di kecup oleh Seungcheol.

“Gue juga suka sama lo Han. Gue kaget waktu tau lo suka sama orang, katakan gue jahat karena bikin Citra jadi pelampiasan, tapi gue bener-bener sayang banget sama lo Han. Gue gak bisa kalo liat lo sama orang lain.”

Jeonghan kembali menangis. “Gue mau peluk.”

“Biar gue aja yang peluk, lagian punya gue belom keluar dari rumahnya.”

“Iya belum keluar, karena bangun lagi kan?”

“Hehehehe sekali lagi ya, yang.”

Plakkkk

“Eunghhhh.” Jeonghan melenguh ketika Seungcheol dengan sengaja menampar pipi pantatnya.

“Jangan berisik Han.”

Toilet lantai 17 termasuk toilet yang jarang di gunakan oleh karyawan kantor karena selain paling atas, juga sering beredar rumor lantai horor.

Jeonghan mengigit lengannya sendiri untuk meredam suara desahannya. Ia memejamkan matanya ketika Seungcheol menggenggam kejantanannya.

“Enak gak Han?”

Jeonghan hanya mendesah karena jujur ia sedang menahan suaranya agar tidak terdengar.

“Han, enak gak?”

Seungcheol anjing batin Jeonghan.

“Kalo diginiin enak gak?” Jeonghan terlonjak ketika Seungcheol dengan tiba-tiba menghantam lubangnya, menggenggam kejantanannya, lalu memilih salah satu putingnya dalam waktu bersamaan.

“Cheol hmmmm.”

“Kenapa Han?”

“Enak.”

Lalu Seungcheol kembali melakukan hal yang sama sampai keduanya mencapai putihnya.

. . . . . . . .

Setelah membalas pesan Jisoo dan yang pasti setelah melakukan quickie sex dengan Seungcheol, Jeonghan kembali ke mejanya. Ia terdiam memikirkan perkataan Jisoo.

Temen apaan yang sampe masuk?

“Han?”

Jeonghan tidak menjawab.

“Han.”

Masih tidak menjawab.

“Jeonghan.”

Jeonghan terkejut ketika melihat Jihoon di sana.

“Eh ji, kenapa?”

“Kok lo ngelamun? Pacar lo noh di aku-akuin sama cewek centil.”

“Siapa?”

“Si Citra.”

“Maksud gue, siapa pacar gue?”

“Seungcheol?”

Jeonghan langsung pergi melihat keramaian yang ada di depan ruangannya.

“Jadi gue sama Seungcheol udah jadian.”

Deg

Jeonghan berjalan mundur, berharap tidak ada yang menyadari keberadaannya, setelah merasa tidak ada yang sadar ia berlari sekencang mungkin meninggalkan kantor.

“Gue cuma temennya dia. Dia cuma butuh lubang gue, bukan yang lain.”