Jeonghan keluar dari kamarnya dengan jalan terpincang-pincang, ia berjalan menuju dapur untuk mengambil minum.
“Jeonghan, kok gak kuliah?”
Jeonghan mendapati Seungcheol—kekasih kakaknya ada di sana. Pagi-pagi udah bertamu
“Kesiangan mas.” Jawab Jeonghan sambil menyengir
“Makannya jangan tidur malem-malem.”
Jeonghan mengacungkan jempolnya lalu ia berjalan kembali menuju dapur.
“Kaki kamu kenapa?”
Jeonghan menggeleng. “Gapapa mas, jatoh tadi.”
“Udah di urut? Atau kamu mau periksa ke dokter aja? Nanti takut ada yang parah.”
Jeonghan menganga lebar ketika Seungcheol berbicara seperti itu.
“Ini gak bisa ya gue aja yang nikah sama mas Seungcheol? Mba Naya beruntung banget bisa jalanin hidup sama mas Seungcheol.”
“Han?”
Jeonghan terlonjak kaget. “Engga usah mas, udah Han kasih salep sama urut dikit-dikit nanti sore juga udah enakkan.”
“Kamu jangan suka asal urut loh Han, nanti salah urat aja.”.
“Hehehehe oke mas.”
“Ngapain lo disini?”
Naya bertanya dengan ketusnya saat melihat Seungcheol berbicara dengan Jeonghan.
“Aku mau ambil minum mba. Yaudah mas Cheol, Han duluan ya.”
“Gak usah ganjen lo.”
“Nay, aku kok yang ajak dia ngobrol.”
Naya memutar bola matanya jengah, sedangkan Jeonghan kembali berjalan menuju kamarnya.
“Aku gak suka kamu ngobrol sama dia.”
“Kenapa sih? Dia kan bakal jadi Adek aku nantinya.”
“Ya ga suka aja.”
“Udah ah jadi berantem. Ayo nanti kesiangan fitting bajunya.”
“Yaudah yuk.”
. . . . . . . . . .
Jeonghan menatap kepergian mobil yang membawa Seungcheol dan Naya dari jendela kamarnya.
“Salah gak sih gue iri sama kakak gue sendiri?”