debut
Minghao berlari secepat mungkin untuk menuju ruang meeting, dimana ada Seungcheol dan beberapa pemegang saham yang sedang meeting.
Tanpa mengetuk pintu, Minghao membuka pintu dan langsung menjadi pusat perhatian semua yang ada di dalam.
“Hao, kamu ngapain?” Tanya Mingyu, ia melihat pujaan hatinya terengah-engah karena mungkin lari cepat.
“Maaf, maaf pak Seungcheol. Tapi saya baru dapet kabar dari orang rumah, kalau pak Jeonghan mau melahirkan.”
Tanpa pikir panjang Seungcheol keluar dari ruangan itu, Hao mengikutinya sedangkan Mingyu menutup rapat hari itu.
“Pak, langsung ke rumah sakit aja. Tadi saya udah suruh yang di rumah ke rumah sakit diamond light.” Ucap Hao, ia membukakan pintu mobil untuk Seungcheol. Seungcheol menatapnya.
“Saya gak bisa biarin bapak nyetir pas panik gini. Jadi biar saya aja. Supir bapak saya suruh menjemput orang tua bapak dan pak Jeonghan.” Seungcheol lagi-lagi tidak menjawab, ia langsung masuk ke dalam mobil yang dipikirannya adalah Jeonghan. Jeonghan pasti kesakitan.
“Tunggu ayah ya sayang-sayang ayah.”
. . . . . . . .
Jeonghan sudah masuk ke ruangan bersalin, ia terus-terusan berteriak sakit sambil terus memanggil-manggil nama Seungcheol.
“Mas Seungcheol.” Air mata Jeonghan sudah keluar, ia benar-benar tidak kuat dengan sakit yang ia rasakan.
“Pak Jeonghan, kalo mau ngeden udah boleh.” Kata dokter yang menanganinya.
“Jeonghan menggeleng. “Mau nungguin mas Seungcheol.”
Jeonghan terus meremas bantal yang ia pakai, untuk mengurangi rasa sakit.
Lalu beberapa menit kemudian, pintu ruangan itu terbuka dan muncullah Seungcheol di sana.
“Sayang.” Seungcheol menghampiri Jeonghan yang sudah banjir keringat
“Sakit mas, Han gak kuat.” Jeonghan menggenggam kuat jemari Seungcheol.
“Kuat sayang, kan biji mau keluar. Katanya mau liat biji? Mau liburan bertiga. Kuat ya? Kan sama mas disini.” Seungcheol terus menyemangati Jeonghan.
“Sakit.” Seungcheol mengecup kening Jeonghan, ia merapalkan doa-doa untuk Jeonghan. Ia juga terus menyemangati Jeonghan, bagaimana pun hanya itu yang bisa ia lakukan.
“Pak Jeonghan, ngeden ya? Ikutin instruksi saya.”
Seungcheol menggenggam erat tangan Jeonghan, ia mengelap wajah Jeonghan yang berkeringat.
“Han bisa ya sayang, demi mas sama biji ya sayang.”
“Pak, Jeonghan ngeden ya.”
“Arghhhh mas.”
. . . . . . . . .
Hao duduk lemas di kursi tunggu yang lumayan jauh dari ruangan bersalin, sejujurnya ia juga panik tapi ia tidak bisa menunjukkan di depan bos nya—hao sudah bekerja dengan Seungcheol menjadi sekretaris 2, tugasnya menggantikan Mingyu jika Mingyu sedang dinas luar.
“Minum dulu Hao.” Mingyu memberikan sebotol minuman kepada Hao.
“Makasih gu.” Hao menenggak minuman itu hingga tinggal setengah.
Mingyu melihat tangan Hao yang masih bergetar, mungkin paniknya belum hilang. Hao menatapnya, tapi ia tidak menarik tangannya, ia malah balik menggenggam tangan Mingyu.
“Tadi pak Seungcheol panik banget, gue juga panik.” Ucap Hao, kali ini ia menyenderkan kepalanya di bahu Mingyu
“Namanya suami mau lahiran, gue juga nanti kalo punya suami terus mau lahiran juga begitu. Apalagi anak pertama.”
“Iya sih, gak paham juga gue.”
“Mau gak biar paham?”
“Apa?”
“Nikah sama gue yuk?”
. . . . . . . . . .
Seungcheol keluar dari ruangan bersalin dengan badan lemas, di depan ruangan sudah ada keluarganya yang menunggu.
Seungcheol berjalan ke arah bundanya, ia memeluk sang bunda dan menangis.
“Cheol, jadi ayah bun. Anak Cheol cantik banget Bun kayak Jeonghan.”
Bunda dan mamanya menitikkan air mata mendengar ucapan Seungcheol, kedua ayahnya bersyukur. Ada Hansol dan Seungkwan juga di sana.
“Selamat ya, mas.”
Seungcheol mengeratkan pelukannya pada bundanya.
“Han kesakitan banget bunda, Cheol gak tega liatnya. Maaf kalo Cheol suka bikin bunda atau mama sedih.”
“Mas ga pernah bikin bunda sama mama sedih kok. Mas selalu bikin bangga bunda sama mama.” Ucap mama Yoon sambil mengelus-elus punggung menantunya.
Saat suasana sedang haru biru, dokter yang membantu persalinan Jeonghan keluar dari ruangan itu.
“Pak Seungcheol, pak Jeonghan sudah bisa dibawa ke ruangan rawat inapnya ya. Sekali lagi saya ucapkan selamat untuk pak Seungcheol dan pak Jeonghan.”
“Terima kasih dokter sudah membantu suami saya.”
“Sudah kewajiban saya. Kalau begitu saya permisi dulu.”
. . . . . . . . . .
Saat ini hanya tinggal Seungcheol dan Jeonghan di kamar rawat itu, karena kedua orang tua Seungcheol dan Jeonghan, Hansol, Seungkwan bahkan Mingyu dan Hao sudah pulang karena sudah malam dan jam besuk juga sudah habis.
“Mas, minta tolong ambilin minum.” Ucap Jeonghan, Seungcheol dengan sigap membantu Jeonghan bangun dan mengambilkan air minum untuk Jeonghan.
“Makasih mas.” Ucap Jeonghan ketika ia sudah selesai minum.
“Masih sakit ya yang?”
“Dikit.”
“Han, Makasih ya.”
“Makasih kenapa?”
“Makasih udah bertahan sampe si biji keluar.”
Jeonghan tersenyum, kalau ia bisa berjalan mungkin ia sudah memukul Seungcheol.
“Sama-sama mas, tadi sakit gak Han cakar?”
“Engga dong, mas kan kuat. Lagian masih sakitan kamu.”
“Huum sakit mas, punya anaknya ntar-ntaran lagi ya mas.”
“Han, lo bukan mesin pencetak anak. Gue kalo mau punya anak lagi ya rembukan dulu sama lo. Gue ikutin maunya lo aja, kalo udah siap punya anak lagi tinggal bilang, gue siap ngehamilin lagi.”
Jeonghan mencubit lengan Seungcheol pelan. “Bahasanya ih.”
“Mau dikasih nama siapa yang?”
“Mas belum ada ide?”
Seungcheol menggeleng.
“Han ada sih, cuma gak tau mas suka apa engga.”
“Apa?”
“Areum. Choi Areum.”
“Artinya apaan?”
“Cantik.”
Seungcheol tersenyum. “Kayak papanya?”
“Iya dong. Gimana mas setuju gak?”
“Setuju sayang.”
“Hehehehe oke. Cium Han dong.”
Jeonghan memejamkan matanya ketika bibir Seungcheol menyentuh bibirnya. Ia meremas rambut belakang Seungcheol ketika ia merasa ia menyukai saat Seungcheol menyentuhnya.
“Udah ah, ntar bablas.” Ucap Seungcheol saat menyudahi ciuman mereka.
“Tidur ya.” Jeonghan mengangguk, Seungcheol mengecup kening Jeonghan.
“Selamat tidur papa.”
Lalu ia beralih ke box bayi dimana anaknya berada.
“Selamat tidur, lontong.”