Seungcheol membuka pintu apartemennya, ia mendapati Jeonghan yang sedang menonton TV. Tapi ketika Jeonghan melihat Seungcheol yang baru masuk apartemen mereka ia langsung bergegas menuju Seungcheol, mengambil jas dan tas yang Seungcheol tenteng daritadi.

“Mau mandi dulu atau langsung makan?”

“Mandi dulu aja deh.”

“Oke, gue angetin makanannya ya.” Jeonghan masuk lebih dulu ke kamar Seungcheol, untuk menaruh barang yang tadi ia bawa. Kemudian ia mengambilkan baju ganti untuk suaminya itu. Sebenarnya Jeonghan hanya refleks melakukan itu, karena ia suka lihat mamanya menyiapkan kebutuhan papanya.

Seungcheol hanya melihat gerak-gerik Jeonghan dari belakang. Seungcheol merasa kalau Jeonghan sedang sangat berusaha menjadi suami yang baik. Kemudian ada tekad dalam hatinya, kalau ia harus melakukan hal yang sama.

“Kenapa masih disini? Udah sana mandi. Atau mau bawa bajunya ke kamar mandi?” Tanya Jeonghan yang melihat Seungcheol malah melamun dibelakangnya.

Seungcheol mengangguk. “Saya bawa ke dalem aja.” Jeonghan langsung menyerahkan baju yang tadi ia pilih.

“Yaudah, gue keluar. Baju kotornya taro keranjang ya mas.” Ujar Jeonghan sambil keluar dari kamar Seungcheol.

. . . . . . . . . . . .

Saat ini keduanya sedang menikmati makanan yang Jeonghan masak. Seungcheol akui keahlian Jeonghan memasak tidak bisa diragukan lagi.

“Besok mau sarapan apa? Atau buat makan malem lo ada yang lagi dipengenin gitu?”

Jeonghan melihat Seungcheol yang berpikir.

“Saya lagi ke pengen rawon. Kalo sarapan sih apa aja.”

“Rawon ya? Gue ga pernah bikin sih, tapi nanti gue coba.”

“Kalo ga bisa gapapa Han, nanti mas beli di luar aja buat makan malem kita.”

“Gak usah, gue bisa kok cuma emang belum pernah aja. Tapi bisa, pasti.”

Seungcheol tertawa kecil melihat semangat Jeonghan.

“Kamu tuh bisa masak dari kapan emang? Kayaknya udah jago banget, ini aja enak banget.”

“Em, dari kapan ya? Gue juga lupa, kayaknya sih dari SMA. Tapi gue jarang masak mas, kalo mama lagi pergi aja.”

“Lama juga ya, pantes enak.”

“Soalnya dulu mama tuh suka bilang kalo nanti gue nikahnya sama cowok mau gak mau gue yang harus bisa ngurusin rumah, sampe masak. Jangan sampe nanti yang jadi suami gue ga betah di rumah karena gue ga bisa masak akhirnya ya mau gak mau gue belajar, daripada suami gue makan di rumah orang lain.”

“Kenapa mama bilangnya begitu?”

Jeonghan meneguk air putihnya. “Lo tuh tau gak sih mas kalo gue bisa hamil?”

Uhuk

“Serius?”

Jeonghan mengangguk. “Ga banyak sih laki-laki yang bisa hamil, cuma gue salah satunya.”

“Oh pantesan mama saya setuju sama kamu. Kamu bisa kasih keturunan.”

“Tapi lo sebelumnya pernah punya pacar cowok, mas?”

Seungcheol menggeleng. “Kamu sih yang pertama.”

“Udah yang pertama, langsung jadi suami lagi. Apa ga kaget lo mas?”

“Engga sih, soalnya sekeliling saya banyak yang dengan sesama. Contohnya si Mingyu, Minghao juga.”

“Eh mas, Hao tuh suka ya sama mas Mingyu?”

“Kenapa kamu nanya begitu?”

“Soalnya kalo lagi ada mas Mingyu, Hao tuh ngeliatinnya kayak berbinar-binar. Kayak ada love love di matanya.”

Seungcheol tertawa lagi. “Iya dia suka sama Mingyu, cuma kayaknya Mingyu ga tau.”

“Kenapa gak lo comblangin aja mas?”

Seungcheol mengambil buah jeruk yang ada di atas meja. “Karena Mingyu belum kelar sama masa lalunya. Kata orang, jangan pernah berhubungan sama orang yang belum kelar sama masa lalunya. Kamu cuma bakal jadi bayang-banyangnya si orang yang dulu aja.”

. . . . . . . . . .

Setelah makan mereka memutuskan untuk menonton TV sebentar.

“Oh ya mas, itu kado yang dari mas Mingyu. Mau liat gak?” Tapi belum dijawab Jeonghan sudah mengambil kotak yang diberikan Mingyu.

Seungcheol merasa ia benar-benar harus mengutuk Kim Mingyu.

“Gue tuh gak tau ini salah kirim atau gimana, cuma kata Jisoo ini namanya baju haram. Maksudnya haram apa ya mas? Terbuat dari kulit babi gitu?”

Kalau saja ini sedang waktunya bercanda, mungkin Seungcheol akan tertawa keras. Tapi tidak saat ini. Seungcheol bahkan melihat wajah Jeonghan yang benar-benar meminta kejelasan karena tidak tau dengan barang ini. Ada secercah kebahagiaan di hati Seungcheol karena Jeonghan mungkin belum pernah memakai baju-baju itu di depan orang lain.

“Aduh saya juga jadi bingung jelasinnya gimana. Soalnya ini agak sensitif.”

“Sensitif gimana?”

“Gini, Jeonghan maaf ya sebelumnya. Tapi saya boleh tanya dulu sama kamu?”

“Tanya apa? Tanya aja.”

“Kamu pernah melakukan hubungan intim sama pacar kamu dulu?”

Jeonghan sedikit menunduk, lalu menggeleng. “Gue paling jauh cuma ciuman aja mas. Papa bilang ga boleh kelewat batas.”

Seungcheol bisa bernafas lega akhirnya.

“Gini, jadi ini itu baju untuk pasangan yang udah menikah.”

“Terus gunanya apa? Ini tipis banget loh.”

Seungcheol mengusap tengkuknya—menandakan ia sedang grogi. “Ya gunanya untuk menggoda pasangannya, buat melakukan hubungan badan.”

Seungcheol sebenarnya takut akan reaksi Jeonghan. Tapi yang ia lihat malah Jeonghan yang terlihat masih memandangi baju-baju itu. Lalu tiba-tiba saja Jeonghan mengangguk. Seungcheol mengernyitkan keningnya. Apa maksudnya ini?

Jeonghan bangun dari duduknya tiba-tiba saja.

“Loh mau kemana?”

“Mau nyobain, mas Seungcheol mau liat gak?”

Hah?

“Kan tadi lo yang bilang buat pasangan yang udah menikah. Kita kan udah nikah, terus dapet baju ini artinya gue harus pake dong?”

Seungcheol kelabakan.

“Engga, engga harus sekarang Jeonghan. Ini kalo nanti kamu udah siap, saya udah siap. Gak harus detik ini juga.”

Jeonghan menatap Seungcheol. “Dari awal nikah gue udah siap kok mas, lagian itu kan kewajiban gue sebagai pasangan lo, mas—.”

Bulu kuduk Seungcheol meremang.

“—emangnya mas Seungcheol, ga mau?”