GyuHao
Setelah mendapat kabar kalau Mingyu sudah menunggu dibawah, Minghao secepat kilat berlari untuk menemui pujaan hatinya itu.
Minghao sudah cukup lama menyukai sahabat kakak sepupunya itu, tapi apa boleh buat ia tidak berani mengatakannya apalagi setelah tau kalo Mingyu menyukai sekretaris nya sendiri—Seungkwan.
“Maaf nunggu lama ya pak.”
“Engga kok, saya juga baru sampai. Sabuk pengamannya jangan lupa ya?”
Minghao buru-buru memakai sabuk pengamannya. Lalu mobil Mingyu berjalan menuju sebuah restoran.
“Emang gak jauh pak dari kantor bapak kesini? Macet lagi orang pada pulang kantor.”
Mingyu tersenyum tapi tetap fokus menyetir. “Kebetulan apartemen saya sama Seungcheol satu gedung jadi lumayan deket kesini.”
“Oh saya baru tau kalo bapak sama pak Seungcheol apartemennya samaan.”
“Yang tau cuma Seungcheol dan Seungkwan aja, Minghao. Bahkan mama papa saya ga tau.”
“Eh pak, manggilnya Hao aja. Kepanjangan kalo Minghao.”
“Oh gapapa ya? Soalnya Seungcheol pernah bilang kalo kamu gak suka kalo dipanggil Hao sama yang bukan keluarga.”
Minghao ingin mengutuk kakak sepupunya itu saat ini juga. Bikin malu aja.
“Gapapa pak, kan bapak sahabatnya mas jadi masih di anggap keluarga sama saya.”
Mingyu mengangguk. “Saya pikir emang kamu mau ngajakin saya jadi keluarga kamu.” Minghao membelalakkan matanya terkejut ketika Mingyu berkata seperti itu.
Mingyu bisa sedikit melihat dari ekor matanya ekspresi wajah Minghao yang terkejut, lalu ia tersenyum. Lucu juga.
Sesampainya di restoran itu, keduanya masuk secara bersamaan. Setelah duduk dan memesan makanan, hening menyelimuti mereka sampai beberapa menit kemudian makanan yang mereka pesan datang.
“Makan yang banyak, Hao. Kamu kurus banget.”
“Badan saya emang segini pak, gak bisa nambah lagi.”
“Masa sih? Cacingan kamu?”
Minghao memutar bola matanya. “Gen pak dari papa saya.” Mingyu tertawa. “Saya bercanda, Hao. Maaf ya kalo bikin kamu kesal.”
“Eh engga gitu pak, saya cuma kasih tau kalo mau makan sebanyak apapun badan saya cuma segini-gini aja.”
Mingyu mengangguk. “Berarti pas sih.”
Minghao meminum sodanya. “Pas apanya, pak?”
“Pas di pelukan saya.”
Uhuk
Minghao terbatuk-batuk karena mendengar ucapan Mingyu. Mingyu ikut panik ketika Minghao tidak berhenti batuk.
“Pak jangan gini dong.”
“Jangan gini gimana?”
“Ya jangan gini, jangan bertingkah seakan-akan bisa digapai.”
Mingyu tertawa. “Kamu mau gapai saya? Emangnya saya keliatan susah digapai ya?”
“Tuh bapak tau. Bapak sama saya tuh kayak bumi sama langit, jauh banget. Jadi saya sadar diri aja sih.”
“Loh emang apa yang ngebedain? Kita kan sama aja di mata tuhan.”
“Iya di mata tuhan sama aja, cuma kan mata tuhan sama mata orang tua bapak beda.”
Mingyu terdiam. Lalu Minghao jadi tidak enak hati.
“Maaf ya pak, gak bermaksud bahas yang dulu-dulu.”
“Seungcheol cerita ya?”
“Iya pak, tapi saya kok pak yang maksa jadi ini bukan salahnya mas. Maaf sekali lagi kalo saya lancang pengen tau urusan bapak.”
Mingyu tersenyum. “Gapapa, Hao. Kayaknya cepet atau lambat kamu juga wajib tau.”
“Hah? Emang kenapa pak?”
Mingyu tersenyum dan menggeleng. “Nanti aja, sekarang abisin dulu makanan kamu. Tadi mau denger cerita saya kan?”
. . . . . . . . . . . . .
Minghao memakan dessert yang ia pesan tadi sambil mendengarkan Mingyu bercerita.
“Jadi ya gitu, Clara itu gak suka sama orang-orang kayak kita, orang-orang yang suka sama sesama. Pas kejadian itu, semua orang natap saya rendah bahkan mama papa saya sendiri. Cuma Seungcheol yang gak seperti itu. Akhirnya Seungcheol ngebela saya. Kamu bisa bayangin kan Hao, gimana hancurnya saya waktu itu? Di hari ulang tahun saya sendiri saya hancur.”
Luka masa lalu yang selalu mingyu kubur akhirnya terbuka. Masa lalu yang membuatnya menjadi tidak memiliki sahabat lain selain Seungcheol.
Beberapa tahun yang lalu, saat ulang tahunnya tepat saat ia juga diangkat menjadi pewaris tunggal keluarga Kim. Clara, yang mengaku sahabatnya tega menusuknya dari belakang. Clara tau tentang orientasi seksualnya, dan ia yang membeberkan semuanya itu di depan semua orang. Sehabisnya, semua orang termasuk keluarganya mencemooh dirinya. Kalau saja waktu itu tidak ada Seungcheol, mungkin dia sudah nekat melakukan bunuh diri.
“Kok jahat banget ya pak, terus si Clara Clara itu minta maaf gak sama bapak?”
“Boro-boro minta maaf, Clara malah bilang harusnya saya makasih sama dia karena dia udah ngasih tau saya kalo itu salah.”
“Dih, apa banget coba. Nih ya pak saya pernah baca katanya kalo mau nasehatin orang ya dengan suara kecil aja, kalo kayak gitu mah emang dia mau mempermalukan bapak. Parah sih.
“Tapi kamu mau tau gak apa yang paling parah?”
“Apa pak?”
“Sebenernya Clara suka sama saya, dia pernah nembak saya dulu tapi saya tolak karena saya tau Seungcheol suka sama dia dan karena saya emang ga suka sama dia. Dari situ dia mulai pakai cara-cara curang buat ngehancurin saya.”
Speechless. Satu kata yang Minghao rasakan saat itu.
“Termasuk sama pacar bapak yang dulu itu? Yang cewek?”
Mingyu mengangguk. “Termasuk dia.”
“Tapi kenapa pak? Maksud saya kan bapak ga sama laki-laki.”
“Ya karena dia gak suka aja ada yang bisa dapetin saya.”
“Tapi mas tau pak kalo Clara sukanya sama bapak?”
“Tau kayaknya.”
“Tapi ya pak, kira-kira mas selingkuh ga sih?”
Mingyu meminum minumannya. “Saya yakin engga. Soalnya saya udah wanti-wanti dia. Seungcheol lebih takut saya marah ketimbang dia gak bahagia.”
. . . . . . . . . . .
Mobil Mingyu berhenti di depan rumah Minghao.
“Makasih ya pak udah di anterin, di ajak makan juga.”
“Sama-sama, Hao.”
“Pak Mingyu mau mampir dulu?”
“Ga enak udah malem, kapan-kapan aja ya Hao.”
“Oh oke, gapapa. Yaudah saya turun dulu ya pak.”
Saat akan membuka pintu mobil, Mingyu menahan tangan Minghao.
“Kenapa pak?”
“Kamu besok ada acara gak?”
“Besok di rumah aja sih pak, libur saya biasanya di rumah.”
“Kalo saya ajak pergi mau?”
“Kemana?”
“Saya baru beli yacht, kamu mau nemenin saya nyobain itu gak?”