biji
Seungcheol dengan cepat membuka pintu rumahnya, ia buru-buru menuju kamarnya untuk mencari Jeonghan.
“Jeonghan?”
Ia mendapati Jeonghan sedang memakan buah-buahan sambil menonton film di laptopnya. Jeonghan menatap Seungcheol yang terengah-engah karena berlari.
“Mas, lo lari?”
“Iyalah, kaget gue baca chat lo.”
Jeonghan memberikan Seungcheol minumannya, dengan cepat Seungcheol menegak habis air itu.
“Han, beneran?”
Jeonghan mengangguk. Seungcheol memeluknya.
“Makasih sayang makasih banget.”
“Kan yang bikin Han hamil mas, kenapa makasih nya sana Han.” Ucap Jeonghan sambil mengelus-elus punggung suaminya.
“Ya makasih juga Seungcheol udah mau ngehamilin Jeonghan.” Jeonghan tertawa, ia juga mencubit perut Seungcheol pelan.
“Periksa ke dokter ya?” Seungcheol mengelus-elus perut datar Jeonghan
“Boleh.”
. . . . . . . . .
Saat ini Jeonghan sedang berbaring di ranjang rumah sakit, dokter sedang memeriksa perutnya.
“Dih, itu apaan dok? Kok kecil banget?” Jeonghan mencubit lengan Seungcheol agar laki-lakinya itu diam.
“Itu anak bapak, kan awalnya kecil.”
“Kayak biji ya?” Dokter itu tertawa mendengarnya, lalu ia menutup kembali perut Jeonghan, Seungcheol membantu Jeonghan bangun dan menuntunnya menuju meja dimana dokter tadi sedang menuliskan resep obat untuk Jeonghan.
“Jadi gimana dok?”
“Selamat ya pak Jeonghan, kandungnya sehat udah berjalan 1 bulan.”
“Hah? Sebulan dok? Bukannya baru ya?” Tanya Seungcheol
“Iya pak, soalnya ada beberapa kehamilan yang tidak menunjukkan tanda-tanda. Mungkin pak Jeonghan termasuk yang itu.”
“Lo taunya gimana Han?”
“Han iseng aja sih cek mas, soalnya udah 3 bulan nikah tapi belum hamil juga padahal udah sering ngelakuin.” Dokter yang mendengar ucapan Jeonghan menahan senyumnya, ia memaklumi pasangan baru di depannya.
“Atau mungkin bapak udah ngerasain gejelanya tapi gak sadar. Seperti ngidam, atau terlalu perasa.”
Jeonghan dan Seungcheol saling bertatapan.
“Tapi kalo saya yang ngidam dok?” Tanya Seungcheol
“Wajar pak, yang ngidam itu bukan hanya yang hamil tapi bisa ayahnya juga.”
“Jeonghan juga akhir-akhir ini suka ngambek sih dok, kadang kalo saya telat ngabarin dia juga dia marah, cemburuan.” Jeonghan menundukkan kepalanya menyembunyikan wajahnya yang memerah.
“Iya pak, biasanya orang hamil itu lebih perasa. Bahkan ada yang tidak mengizinkan suaminya bekerja karena ingin dekat-dekat terus. Apalagi kalau pasangan muda, masih hangat-hangatnya.”
“Wah jangan sampe lo gak bolehin gue kerja Han mau dikasih makan apa anak gue nanti.”
“Mas ih.”
“Tapi ada juga pak yang malah mau jauh-jauhan sama suaminya.”
“Aduh, untung lo maunya deket-deket terus.”
“Dok maaf ya suami saya emang bawel banget.” Ucap Jeonghan
“Gapapa pak, ini saya kasih resep ya nanti di tebus aja.”
“Kalo hamil boleh minum obat ya dok?”
“Itu vitamin pak, sama obat penambah darah. Itu wajib ya biar pak Jeonghan gak kekurangan darah sama bayinya sehat terus.”
“Oh iya dok, terima kasih. Kalo begitu kita pamit dulu.” Jeonghan menarik tangan Seungcheol
“Silakan.”
. . . . . . . . .
“Bisa gak sih gak usah bikin malu?” Saat ini mereka sedang berada di mobil, dan akan pulang. Setelah menebus obat mereka memang memutuskan untuk pulang.
“Malu-maluin apaan si yang? Gue ga ngapa-ngapain perasaan.”
“Itu bilang anaknya biji depan dokter.”
“Kan emang biji.”
“Ini anak lo Seungcheol.”
“Tapi kayak biji, yang.”
“Terserah.”