healing.
Jisoo sampai di Yogyakarta dengan selamat. Yogyakarta adalah kota yang ia tuju untuk healing. Sambil menikmati suasana pagi hari di stasiun—ia juga menunggu jemputannya.
“Mas Jisoo?”
Jisoo menoleh dan mendapati seseorang laki-laki dengan senyum cerah seperti matahari. Jisoo terpana pandangan pertama
“Seokmin ya? Adiknya Wonwoo kan?”
Sosok itu tersenyum dan mengangguk. “Bener mas, saya Seokmin adiknya mas Wonwoo.”
“Jangan kaku ya Seok, santai aja.”
“Iya mas Jisoo, mari mas.” Ajak Seokmin, ia juga membawa koper yang Jisoo bawa. Mereka sampai di depan sebuah mobil yang tidak terlalu mahal.
“Maaf ya mas, mobilnya jelek.”
“Yang penting bisa jalan kan?”
“Bisa mas.”
“Yuk kapan?”
“Iya ini kita mau jalan mas.”
Tidak peka, bintang 1
Jisoo langsung masuk ke dalam mobil dan Seokmin sedang memasukkan koper Jisoo ke bagasi mobil.
“Jangan lupa seat beltnya, mas.” Jisoo memasang seat beltnya. Dan Seokmin melajukan mobilnya.
. . . . . . . . .
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Eh udah dateng tamunya. Masuk mas.” Ibu-ibu paruh baya yang di yakini Jisoo adalah ibu dari Seokmin.
“Iya Tante.”
“Panggil ibu aja.”
“Oh iya Bu.”
“Mas Seokmin, tolong bantu mas nya ke kamar juga ya.”
“Nggih bu.” Seokmin mengantar Jisoo ke kamar kosong yang sudah dibersihkan.
“Kamarnya ga luas kayak kamar mas Jisoo di Jakarta. Gak ada AC nya juga, kasurnya pun ga seempuk yang dulu. Di rumah kami cuma ada ini mas.”
“Gapapa Seokmin, gue malah untung banget lo dan keluarga mau nampung gue disini. Btw lo cuma berdua sama ibu?”
“Ada si bungsu mas, sedang sekolah.”
“Bokap lo?”
Seokmin tersenyum. “Bapak udah ndak ada, mas.”
“Oh, sorry Seok. Wonwoo gak pernah cerita ke gue.”
“Ndak apa-apa, mas nu emang jarang cerita tentang keluarganya.”
“Jadi Wonwoo tulang punggung keluarga ya, Seok?”
Seokmin mengangguk. “Bisa dibilang begitu.”
“Lo kerja?”
“Saya kerja di salah satu hotel dekat sini mas.”
“Bagian?”
“Dapur.”
“Oh lo chef?”
“Bisa dibilang begitu.”
“Tapi sorry, lo kerja di hotel Wonwoo kerja di perusahaan gede tapi kenapa ga pasang AC atau minimal ganti ranjang?”
“Mandatnya alm.bapak mas, bapak gak mau ada yang di ganti di rumah ini. Kalau masalah AC, disini dingin kalau malam jadinya tidak pasang.”
Jisoo mengangguk mengerti.
“Mas Jisoo udah makan?”
“Terakhir gue makan semalem sih.”
“Ya udah, mas istirahat dulu. Saya masakin, nanti kalo udah mateng biar saya bangunin. Gimana?”
“Duh, gue jadi ngerepotin terus nih.”
“Ndak apa-apa mas. Saya permisi dulu.”
Jisoo mengangguk, ia langsung merebahkan tubuhnya sambil bertukar pesan dengan Wonwoo.
. . . . . . . . .
Malam harinya.
Jisoo mengeratkan jaketnya. Seokmin benar, kalau malam hari dingin sekali.
“Mas Jisoo mau wedang ronde?”
“Eh ada ya Seok?”
“Ada mas, mau?”
“Boleh deh Seok, dingin banget ternyata.”
“Tapi musti naik motor dulu, gak jauh kok gak sampe 5 menit.”
Jisoo mengangguk. “Boleh.”
Seokmin mengeluarkan motornya, setelah berpamitan pada ibu nya ia dan Jisoo pergi ke salah satu warung wedang ronde satu-satunya di kampung itu.
“Pak, wedang ronde nya 2 ya.”
“Wih mas Seokmin bawa pacar.”
Seokmin tertawa. “koncone Mas nu, pak.”
“Oalah, wong Jakarta toh.”
“Nggih, pak.”
“Tak kirain, cocok soalnya.”
Seokmin tertawa. “Kasian dia pak kalo sama saya, nanti jadi memperburuk keturunan.”
“Oalah, mas Seokmin paling ganteng sekampung kok masih minder.”
“Bisa aja pak, saya di pojok ya pak.”
“Nggih mas.”
“Mas Jisoo ayo?”
Jisoo dan Seokmin duduk di pojok tempat itu. Di sana tidak ada kursi, hanya ada karpet.
“Ndak apa-apa toh mas duduk di karpet?”
“Yaelah, duduk di pinggir jalan juga gapapa.”
Beberapa menit kemudian pesanan mereka datang. Jisoo menyicipi wedang ronde itu.
“Wah enak banget, Seok.”
“Cocok kan buat yang dingin-dingin.”
Jisoo mengangguk, ia senang disini.
“Besok mau kemana mas?”
“Gue sih niatnya mau jalan-jalan aja. Tapi belum tau banget jalanan sini sih. Takut ilang.”
“Saya temani mau?”